Senin, 27 Mei 2013

Syura, di Antara Demokrasi dan Khilafah

Abstrak
Sistem khilafah mengandaikan penggunaan hukum Islam sebagai dasar negara (syari’at). Sistem ini banyak dicita-citakan oleh kalangan Islam fundamentalis, atau sedikit ekstrem lagi yaitu kalangan Islam radikal. Sistem ini berlaku sejak zaman  khulafaurrasyidin sampai jatuhnya dinasti Turki Usmani di awal abad 20. Bersamaan dengan jatuhnya Turki Usmani, sistem demokrasi yang lebih terbuka dan memberikan ruang kebebasan menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia.Perdebatan mengenai penggunaan kedua sistem ini di Indonesia berlangsung sampai sekarang, terutama pada masa demokrasi liberal kisaran  1950-an di tubuh Konstituante. Menanggapinya, Ahmad Syafii Maarif, mengajukan konsep syura sebagai landasan dalam sistem pemerintahan. Konsep syura yaitu penggunaan musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan yang menjunjung tinggi kesetaraan setiap orang.
Kata kunci: Ahmad Syafii Maarif, sistem khilafah, sistem demokrasi, konsep syura.

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ahmad Syafii Maarif, merupakan salah satu tokoh nasional dan cendekiawan muslim tersohor Indonesia dewasa ini. Terlepas dari bajunya sebagai petinggi Muhammadiyah terutama sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah tahun 1998 – 2005, Maarif dikenal luas oleh publik sebagai salah seorang pemikir Islam. Sikap politiknya untuk memilih sistem demokrasi dan mendukung Pancasila sebagai dasar negara, telah menimbulkan pro-kontra di kalangan pemikir Islam Indonesia khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Sikap politik tersebut muncul akibat dari perdebatan pilihan ideologi yang tak kunjung selesai antara kalangan Islamis yang fundamental-radikal, dengan kalangan demokrat (Islam)  yang plural-liberal. Perdebatan mengenai pilihan ideologi tersebut– Islam atau demokrasi –sebenarnya secara de jure telah selesai, ketika Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sebenarnya diskusi tentang negara Islam di Indonesia merupakan fenomena baru, dan itu hampir seluruhnya dilakukan oleh penulis-penulis dan politisi modernis muslim di abad 20 (Maarif 1987). Tetapi perdebatan tersebut masih berlanjut sampai sekarang, dan Maarif melalui disertasinya mengajukan satu konsep alternatif yang kiranya dapat diterima oleh semua kalangan yaitu apa yang disebut dengan konsep syura.
Dalam sejarah perkembangan Islam, sistem khilafah menjadi sistem pemerintahan yang digunakan beratus-ratus tahun oleh dinasti muslim yang berkuasa, terutama sejak kematian Ali ibn Abi Thalib. Yaitu Muawiyah yang berhasil ‘megalahkan’ dan menjatuhkan Ali, sistem khilafah yang dinastik dimulai dengan ditempatkannya Yazid –putra Muawiyah – pada posisi sebagai Amirul Mukminin (gelar khalifah), padahal tradisi Arab tidak mengenal pemerintahan dinasti (Engineer 2000).
Kata khilafah sendiri merupakan bentuk verbal noun dari takhallafa, menggantikan posisi yang lain. Sehingga khilafah yaitu menggantikan yang lain ketika yang lain itu tidak hadir, mati atau ketidakmampuan yang digantikan dan sebagainya. Sementara Ibn Khaldun menjelaskan bahwa hakekat dari khilafah yaitu menggantikan pembuat syara’ dalam menjaga agama dan politik dunia (ar-Raziq 2002).
Sistem pemerintahan khilafah berbeda dengan seluruh bentuk sistem pemerintahan yang ada di dunia. Baik dari segi asas yang mendasarinya, dari segi pemikiran, pemahaman, maqayis (standar), dan hukum-hukumnya yang mengatur berbagai urusan (HTI 2005). Bahkan al-Mawardi mengidentifikasi sistem khilafah sebagai sistem yang memberlakukan syariah dan menjadikan Alquran sebagai undang-undang hukum pidana (Engineer 2000).
Ciri lain dari sistem khilafah yaitu pemimpinnya yang disebut dengan khalifah dan bergelar Amirul Mukminin (pemimpin bagi orang-orang yang beriman). Menurut ar-Raziq (2002), khalifah merupakan penguasa tertinggi (as-sultan al-a’zam) dan memimpin secara umum dalam urusan agama dan dunia menggantikan Nabi Muhammad SAW. Sementara HTI (2005), mendefinisikan khalifah sebagai orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan penerapan hukum-hukum syariah.
Semenjak sistem khilafah yang dinastik diberlakukan, terutama pada masa dinasti Umayah dan Abasiah peradaban Islam mengalami kemajuan dan kejayaan yang luar biasa. Banyak kota-kota muslim yang saat itu menjadi pusat peradaban sekaligus ilmu pengetahuan, seperti Baghdad, Damaskus dan Kairo. Hal ini justru berbanding terbalik dengan keadaan Eropa pada waktu yang sama, ketika Eropa mengalami kemunduran di abad pertengahan.
Seiring perkembangan zaman dan semakin merosotnya kejayaan Islam di awal-awal abad 20, kekuasaan dinasti muslim di bawah sistem khilafah akhirnya runtuh bersamaan dengan dimulainya Perang Dunia pertama. Hal tersebut ditandai dengan jatuhnya kekuasaan Kekaisaran Turki Ottoman, dinasti terbesar terakhir penguasa muslim dan bergelar Sultan. Kemenangan Inggris pada PD-I dan sekutu pada PD-II, juga berdampak pada menyebarnya sistem pemerintahan yang dianut oleh negara-negara tersebut (barat) yaitu sistem demokrasi.
Demokrasi sendiri berasal dari bahas Latin yaitu demos (rakyat) dan kratos (tatanan). Sehingga secara sederhana, demokrasi dapat diartikan sebagai suatu tatanan atau nilai yang memperhatikan kedudukan rakyat untuk membangun persamaan sosial yang kolektif. Yaitu kedaulatan bersumber dari, oleh dan untuk rakyat. Kebebasan dan kesetaraan setiap orang menjadi yang utama dari visi demokrasi.
Sistem demokrasi memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi masyarakat atau setiap orang untuk berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Perangkat hukum dan perundang-undangan dalam sistem demokrasi pun dapat disesuaikan dengan budaya setempat dan perkembangan zaman. Dengan melihat keadaan yang demikian, sistem demokrasi dalam hal tata pemerintahan dan bahkan ketatanegaraan, serta prilaku politik masyarakat jelas berbeda dengan sistem khilafah.
Perbedaan mendasar dari kedua sistem tersebut dapat dilihat terutama dari dasar hukum yang digunakan, pola rekrutmen pemimpin, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan publik. Seperti yang disebutkan di awal, bahwa perdebatan mengenai pilihan untuk menggunakan salah satu dari dua sistem tersebut masih berlangsung sampai sekarang termasuk di Indonesia.
Sebagai negara yang telah memilih demokrasi sebagai suatu sistem, menjadi wajar kiranya jika masih terdapat sekelompok kecil masyarakat yang masih terus berjuang untuk menggolkan sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan dan menginginkan Indonesia menjadi sebuah negara Islam. Sehingga konsep syura yang salah satunya ditawarkan oleh Maarif sebagai alternatif sistem antara demokrasi dan khilafah, patut untuk diperhatikan dan dipelajari lebih dalam lagi.
B. Rumusan Masalah
1. Sejauh mana relevansi penggunaan sistem khilafah di Indonesia saat ini?
2. Mengapa sekarang sistem demokrasi menjadi pilihan yang terbaik bagi Indonesia?
3. Bagaimana konsep syura itu dapat dipahami?
C. Tujuan
· Mengetahui pemikiran politik Islam Ahmad Syafii Maarif.
· Mengetahui sekilas latar belakang kehidupan Ahmad Syafii Maarif.
· Mengetahui sejauh mana relevansi penggunaan sistem khilafah di Indonesia saat ini.
· Mengetahui alasan sistem demokrasi sebagai pilihan terbaik sekarang.
· Mengetahui yang dimaksud dengan konsep syura.
· Mengetahui perbandingan secara umum antara khilafah, demokrasi dan syura.
D. Landasan Teori
Perdebatan di antara golongan Islamis yang menginginkan adanya Negara Islam Indonesia dengan golongan nasionalis-sekuler yang bertahan pada konsep Negara Pancasila sampai saat ini masih berlangsung. Walaupun pada tahun 1959 Negara Pancasila keluar sebagai “pemenang”, namun sebagai wacana perdebatan sah-sah saja mengingat Pasal 28E (3) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Ahmad Syafii Maarif merupakan salah satu cendekiawan muslim yang turut mengamati dan meneliti perdebatan tersebut. Setelah nyantri di Chicago, pemikirannya berubah menjadi seorang Pancasilais yang sebelumnya merupakan pengusung konsep Negara Islam. hal ini dapat dipahami, karena menurut Mannheim (1991) embaca pemikiran seseorang tak bisa dilakukan secara ahistoris. Pemikiran tak tumbuh begitu saja dengan sendirinya.  Pemikiran seseorang banyak ditentukan oleh pengetahuannya. Latar belakang sosial dan psikologi seseorang tak bisa dilepaskan dalam proses terjadinya pengetahuan.
E. Metode Penelitian
§ Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, karena tidak disertai dengan angka-angka statistik melainkan terbatas pada penganalisisan konsep atau gagasan.  Sehingga berusaha mengungkap dan menganalisis pemikiran politik Islam Ahmad Syafii Maarif.
§ Informan Penelitian
Prof. Dr. Drs. Ahmad Syafii Maarif, MA.
§ Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber-sumber primer berupa text book’s, yang ditulis langsung oleh informan. Serta buku-buku lainnya yang relevan dan menunjang dalam penulisan laporan ini. Juga hasil wawancara langsung bersama informan.
§ Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data-data dalam penelitian dan penulisan laporan, menggunakan metode studi pustaka dengan mengaji literatur atau buku-buku sebagai sumber data. Metode lainnya yaitu wawancara langsung dengan informan pada hari Selasa, 17 April 2012 di Masjid Nogotirto, Gamping, Sleman.
§ Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif kualitatif, karena penelitian ini merupakan penelitian deksriptif dan tidak memerlukan angka sebagai pengolah data.
BAB II: AHMAD SYAFII MAARIF
Dilahirkan pada hari Sabtu, 31 Mei 1935, di kawasan kecil bernama Calau dalam kenagarian Sumpur Kudus, Sumatra Barat. Ahmad Syafii Maarif oleh Fathiyah, dengan ayah Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu. Terlahirkan sebagai seorang anak di keluarga yang sangat sederhana namun bersahaja, tidak menjadikan Maarif untuk malas menuntut ilmu.
Pendidikan dasarnya ditempuh selama enam tahun di Sekolah Rakyat (SR) sampai tahun 1947. Selanjutnya beberapa lama belajar agama pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah Sumpur Kudus, pada saat belajar di MI inilah Maarif mulai mendapatkan pengajaran tentang nilai-nilai kemuhammadiyahan. Pengalaman masa kecil dan masa belajar Maarif ketika di Sumpur Kudus juga turut memengaruhi pembentukan kepribadiannya.
Setelah nganggur sekitar tiga tahun lamanya, Maarif melanjutkan studi ke Madrasah Mu’allimin Lintau di Balai Tangah, Kabupaten Tanah Datar pada tahun 1950 – 1953. Setelah itu, Maarif atas ajakan M. Sanusi Latief hijrah ke Yogyakarta dan meneruskan sekolah pada Madrasah Mu’allimin Yogyakarta dan tamat tahun 1956. Pernah pula Maarif mengikuti sekolah montir di Jl. Ngabean (sekarang Jl. Ahmad Dahlan).
Setamatnya Mu’allimin Yogyakarta, Maarif dikirim ke Lombok untuk mengajar ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di PGA Muhammadiyah Pohgading. Namun, tahun 1957 Maarif pulang kampung ke Sumpur Kudus dan kembali lagi ke Jawa tepatnya Surakarta pada tahun yang sama. Sesampainya di Surakarta, dasar karena nafsu rasa ingin tahunya yang tinggi, Maarif kembali melanjutkan studi di Universitas Cokroaminoto selama 1957 – 1964.
Awalnya tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, tetapi karena harus kuliah sambil bekerja, maka Maarif pindah ke Jurusan Sejarah-Budaya FKIP yang lebih ‘aman’ presensinya sampai tamat. Karier pendidikan Maarif terus berlanjut, dengan merampungkan kuliah sebagai mahasiswa S-1 di FKIS-IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) tahun 1968, dengan judul skripsi “Gerakan Komunis di Vietnam (1930 – 1954)”. Selanjutnya mengajar di alamamaternya sampai tahun 2005.
Pada tahun 1972, terpilih untuk kuliah lanjut ke Northern Illinois University (NIU), DeKalb, Illionois untuk bidang sejarah dengan beasiswa Fulbright. Tetapi, baru dua semester berjalan Maarif kembali ke Indonesia karena Lip– sumber inspirasi dalam perang dan damai– istrinya tidak sanggup menghadapi anaknya (Iwan) tanpa ayahnya. Tetapi sekali lagi, tahun 1976 Maarif terbang lagi ke Amerika Serikat untuk kuliah di Ohio University (OU), Athens. Dalam tempo empat kuartal akhirnya berhasil meraih gelar M.A. tahun 1980, dalam bidang sejarah dengan tesis “Islamic Politics under Guided Democracy in Indonesia (1959 – 1965)”.
Dari beasiswa Ford Foundation dan USAID perwakilan Jakarta, tahun 1978 Maarif telah berada di Chicago untuk melanjutkan studi S-3 di Univesitas Chicago pada Departemen Bahasa-Bahasa Timur Dekat dan Peradaban, dengan fokus kajian tentang pemikiran Islam di bawah payung Studi Kearaban dan Islam. Hingga berhasil mempertahankan disertasinya dengan judul “Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constuent Assembly Debates in Indonesia”, pada 3 Desember 1982. Puncak karier pendidikan Maarif tentu pada saat meraih gelar Guru Besar Filsafat Sejarah UNY tahun 1997.
Berbicara masalah pemikiran Islam atau lebih spesifik lagi pemikiran politik Islam Maarif, tidak dapat lepas dari latar belakang pendidikan yang ditempuhnya. Seperti yang diakuinya, bahwa sampai tahun akhir 1970-an Maarif merupakan salah seorang yang anti-Pancasila dan pendukung kuat gagasan Negara Islam Indonesia. Bahkan ketika menempuh master di Athens dianggapnya sebagai periode status quo dalam pemikiran:
“­Selama periode Athens (1976 – 1978), dari segi pemikiran keislamanku belum ada perkembangan yang berarti,… Aku masih terpasung dalam status quo pemikiran. Masih berkutat pada Maududi, Maryam Jameelah, tokoh-tokoh ikhwan, Masyumi, dan gagasan tentang negara Islam… Apalagi aku aktif dalam MSA (Muslim Student’s Association), yang masih sangat merindukan tegaknya sebuah negara Islam di suatu negeri. Seakan-akan dengan merek serba Islam itu, semuanya akan menjadi beres. Betapa sederhananya cara berpikir seperti ini” (Maarif 2009).
Baru pada masa ketika studi di kampus orientalis Chicago dan mendapat “basuhan” dari sang guru Fazlur Rahman, Maarif secara drastis mengalami perubahan dalam pola pemikiran Islamnya. Maarif yang dulunya anti-Pancasila, menjadi sangat Pancasilais dan pro-demokrasi, konsep negara Islam yang ia pegang akhirnya pudar. Apa yang Maarif sebut sebagai titik kisar ini berlaku sejak sekitar 1979 sampai sekarang. Titik kisar yang telah mengubah secara mendasar sikap intelektualnya tentang Islam dan kemanusiaan.
Sekarang Maarif masih dan sepatutnya tetap menunjukkan sikap konsisten terhadap apa yang ia pilih. Maarif sekarang dikenal sebagai Pancasilais, seorang demokrat-pluralis yang disandingkan dengan mendiang K.H. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid.
“Titik kisar dalam pemikiranku tentang Islam tidak hanya bertalian dengan teori kekuasaan. Masalah toleransi inter dan antar-agama, juga mendapat porsi yang penting setelah aku “dibasuh” di Chicago” (Maarif 2009).
BAB III: KEUSANGAN SISTEM KHILAFAH
Jika dilihat dari sebutan pemimpinnya bahwa sistem khilafah dipimpin oleh seorang khalifah yang bergelar Amirul Mukminin. Maka sistem khilafah telah ada sejak sepeninggal Nabi Muhammad atau ketika Abu Bakar dibaiat di Balai Bani Saidah sebagai pemimpin umat muslim pengganti Nabi. Sampai pada runtuhnya Kekaisaran Turki Usmani –walaupun pada abad-abad terakhirnya bergelar Sultan–  di awal abad 20 khilafah menjadi salah satu sistem pemerintahan yang ada di dunia.
Cita-cita untuk menegakkan kembali sistem khilafah atau setidak-tidaknya negara Islam yang berdasarkan syariah masih terus muncul termasuk di Indonesia. “Dalam sebuah negara demokrasi, sah-sah saja jika ada wacana untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara Islam atau menerapkan sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan”, kata Maarif ketika kami wawancarai. Apalagi melihat kondisi bangsa yang porak-poranda seperti ini, semakin yakinlah kelompok pengusung negara Islam akan pilihannya dan semakin gencar berwacana karena menganggap kerusakan negeri ini disebabkan kesalahan dalam memilih sistem yaitu demokrasi.
Sebutan negara Islam untuk suasana Indonesia yang plural sudah tidak diperlukan lagi. Yang terpenting sesungguhnya bagaimana moral Islam dapat menyinari masyarakat luas melalui perkawinan perkawinan perangkat-perangkat hukum Islam dengan sistem hukum nasional melewati proses demokratisasi. Sehingga masih adanya kelompok-kelompok kecil radikal yang bercita-cita untuk mendirikan negara Islam di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Merupakan cara berpikir yang usang dan tidak realistik, bahkan sebuah halusinasi politik yang sia-sia (Maarif 2009).
Keusangan berpikir dan ketidakrealistisan cita-cita mendirikan negara Islam sehingga merupakan halusinasi politik belaka, memiliki beberapa dasar atau alasan kuat secara teoretik maupun empirik. Secara teoretik bahwa di dalam Alquran sendiri tidak tidak terdapat istilah daulah, kalaupun ada tidak bermakna sebagai negara. Istilah daulah yang terdapat di dalam Alquran (Q.S. 59: 7) digunakan secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan (Maarif 1987).
Pertanyaan selanjutnya, mengapa Alquran tidak memberikan suatu teori kenegaraan yang pasti dan harus diikuti oleh umat Islam? “Alquran bukan teori politik”, sebut Maarif pada awal perbincangan kami di Masjid Nogotirto pada 17 April 2012. Karena pada prinsip- nya Alquran merupakan petunjuk etik bagi manusia dan bukan sebuah kitab ilmu politik.  Dan merupakan suatu kenyataan bahwa institusi-institusi sosio-politik dan organisasi manusia selalu berubah setiap saat (Maarif 1987).
Dikatakan sebagai petunjuk etik karena di dalam Alquran lebih banyak mengandung perintah dan larangan yang bersifat ‘wajib’ hukumnya bagi umat Islam. Bukan perintah untuk mendirikan negara Islam dan larangan menggunakan sistem di luar sistem khilafah. Sehingga Alquran lebih sebagai petunjuk hidup dan sumber moralitas manusia dalam menjalankan hidupnya. Karena sifat institusi politik dan sistem kenegaraan yang selalu berubah dan sangat berbeda dengan sifat Alquran yang kekal. Maka Alquran tidak secara tegas menjelaskan tentang suatu sistem pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan oleh umat Islam.
Salah satu teori politik tentang kekuasaan dan kekhilafahan dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Mawardi. Dalam Al-Ahkam as-Sultaniyah-nya, Mawardi menjelaskan konsep imamah yang disebut bahwa lembaga Imamah diperlukan sebagai persyaratan syariah bukan persyaratan logika (Engineer 2000). Imam sendiri menurut Mawardi dapat dipilih melalui dua cara yaitu melalui ahl al-hall wa al-‘aqd (dewan), atau ditunjuk (ditetapkan) oleh imam yang masih memerintah (Maarif 1987).
Yang terjadi selama ini bahwa agama bahkan tuhan hanya menjadi simbol dan alat semata bagi sekelompok kecil orang untuk meraih kekuasaan di bawah bendera khilafah” (kutipan wawancara tanggal 17 April 2012). Sehingga secara teori dan tindakan dapat terbantahkankan, apalagi tidak sedikit kelompok pengusung khilafah atau negara Islam yang menggunakan cara-cara kekerasan. Lalu bagaimana umat lain dapat memahami Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin jika dalam meyiarkannya saja sudah berkelakuan semena-mena?
Contoh nyata, setidaknya di dunia ini ada dua negara yang secara konstitusional menggunakan Islam sebagai dasar negaranya, yaitu Republik Islam Pakistan dan Republik Islam Iran. Tetapi apakah kedua negara tersebut dapat dikatakan maju, aman dan sejahtera dengan menggunakan label Islam? Pada kenyataannya kedua negara ini justru dapat dikatakan tidak lebih baik dari Indonesia. Hal itu bukan terletak pada kata Islamnya, tetapi terletak pada moral dan perilaku masyarakat dan bahkan pemimpinnya yang menggunakan agama sebagai simbol dan sumber legitimasi kekuasaan semata.
Penggunaan label agama dan tuhan itulah yang disebut dengan Politik Identitas. Di Indonesia sendiri politik identitas tidak hanya berkutat pada masalah agama, tetapi juga terkait dengan etnisitas, ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili pada umumnya oleh para elit dengan artikulasinya masing-masing (Maarif, dkk 2010).
Mereka (kelompok radikal) tidak dapat memahami pesan Bung Hatta yang universal, “Pakailah filsafat garam: tak tampak tetapi terasa, janganlah memakai filsafat gincu: tampak tetapi tak terasa” (Maarif 2004).
BAB IV: PILIHAN BERDEMOKRASI
Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta, sistem yang digunakan dalam menjalankan kekuasaan yaitu sistem demokrasi yang menitikberatkan pada kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Walaupun pada masa demokrasi liberal dengan sistem parlementer (1950 – 1959), terdapat perdebatan hebat antara golongan modernis dengan golongan Islamis di Konstituante dalam menentukan dasar dan bentuk negara serta sistem pemerintahan yang akan digunakan.
Sampai pada akhirnya melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, dinyatakan bahwa sistem demokrasi menjadi pemenangnya. Tetapi harus dicatat bahwa bukan berarti Islam yang kalah, tetapi yang kalah yaitu ide Negara Islam Indonesia itu sendiri. Sehingga secara konstitusi perdebatan antara kedua ideologi tersebut telah selesai. Walaupun secara konstitusi pula hal itu sah-sah saja jika masih berlanjut sampai sekarang sebagai bentuk kebebasan
berpikir dan berpendapat.
Demokrasi saat ini menjadi pilihan terbaik dari yang baik sebagai sebuah sistem” (kutipan wawancara tanggal 17 April 2012). Karena di Indonesia sumber cita-cita dari demokrasi sebenarnya telah lama terlihat oleh para pendiri bangsa salah satunya oleh Bung Hatta:
“Pertama, paham sosialis Barat karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan sekaligus menjadi tujuannya. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarumat manusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, pengetahuan tentang masyarakat Indonesia yang ditegakkan atas prinsip kolektivisme” (Maarif 2004).
Masih menurut Hatta (dikutip oleh Maarif, 2004), bahwa sumber yang ketiga ini mengandung lima unsur sebagai ciri demokrasi desa asli Indonesia: rapat, mufakat, gotong-royong, hak mengajukan protes bersama, dan hak menyingkir dari wilayah kekuasaan raja yang tidak adil. Lima unsur ini dipuja di kalangan pergerakan nasional sebagai dasar yang kuat untuk menciptakan sebuah bangunan demokrasi sosial dalam sebuah perumahan Indonesia yang merdeka.
Tegaknya keadilan merupakan sesuatu yang universal dan menjadi kerinduan bersama serta tuntutan abadi umat manusia di muka bumi. Bahkan untuk kasus Indonesia, di bawah sistem feodal sekalipun kelima unsur tadi tetap bertahan dengan caranya sendiri. Fakta ini setidaknya memberi harapan bahwa demokrasi di Indonesia tidak akan pernah mati. Kalaupun mati itu hanya sementara waktu dan akan muncul dengan caranya sendiri pula.
Harus diakui bahwa sistem demokrasi bersumber dari barat, tetapi tidak berarti demokrasi tidak dapat diterapkan atau tidak cocok dengan peradaban timur dan Indonesia khususnya. Seperti penjelasan Hatta di atas bahwa demokrasi telah tumbuh lama di Indonesia dengan caranya sendiri. Walaupun memang saat itu istilah ‘demokrasi’ tidak dikenal oleh masyarakat tetapi perilaku dan nilai-nilai kehidupan sehari-hari menunjukkan nilai-nilai demokrasi. Sehingga tidak salah kiranya para pendiri bangsa tetap memilih sistem demokrasi daripada sistem kerajaan yang feodal dan sistem khilafah yang cenderung dinastik.
Bukankah di ranah politik legal formal melalui Konstituante, demokrasi dengan Pancasilanya telah menjadi pemenang dan mengalahkan ide Negara Islam Indonesia? Rentang waktu sembilan tahun, 1950 – 1959, telah menjadi saksi bagaimana sengitnya perdebatan antara golongan nasionalis-Islamis seperti Muh. Natsir dan Wahid Hasyim (Masyumi), dengan golongan nasionalis-sosialis seperti Sutan Takdir Alisyahbana dan Ruslan Abdulgani.
Menurut Natsir (dikutip oleh Maarif, 1987), bahwa untuk dasar negara Indonesia hanya ada dua pilihan, yaitu sekulerisme (la-diniyah) atau paham agama (dini), dan Pancasila bagi Natsir bercorak la-diniyah. Walaupun berbeda tajam dalam menempatkan Pancasila sebagai dasar negara, sesungguhnya para modernis Islam Indonesia saat itu termasuk Natsir telah memilih sistem demokrasi. Demokrasi bagi mereka merupakan mekanisme politik yang lebih baik untuk mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita politik Islam. Karena pada faktanya banyak modernis Islam yang justru menentang gerakan politik otoriter Sukarno pada akhir 1950-an yang kemudian membuahkan Demokrasi Terpimpin.
Berbeda dari sistem khilafah yang sentralistik dan mendapat hati di Timur, sistem demokrasi hadir di belahan bumi barat sebagai sebuah antitesa. Logika demokrasi yaitu kekuasaan harus dibatasi. Negara, apalagi pemimpin atau khalifah dalam sistem khilafah bukan lagi menjadi aktor utama dalam mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sistem ini mengembalikan segala sesuatu kepada suara rakyat yang diwakili oleh badan representatif. Sistem ini menempatkan suara mayoritas sebagai basis pengambilan keputusan.
Melalui sistem demokrasi setidaknya suara rakyat jauh lebih didengarkan oleh pengambil kebijakan karena kedaulatan berada di tangan rakyat bukan berada pada tangan raja yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Demokrasi menjamin kebebasan bagi setiap orang dan mencitakan terciptanya keteraturan tatanan sosial yang kolektif. Demokrasi sebagai suatu sistem jelas memiliki beberapa kelemahan, tetapi jika dibandingkan dengan sistem yang lain seperti otoriter, monarki feodal atau khilafah, demokrasi akan menjadi pilihan yang terbaik.
BAB V: SYURA SEBAGAI ALTERNATIF
“…Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat; sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” (Q.S. Syura: 38). Demikianlah salah satu ayat dalam Alquran yang memerintahkan umat manusia untuk menyelesaikan masalahnya dengan musyawarah. Alquran tidak secara jelas menegaskan bentuk khas dari suatu negara, tetapi menjelaskan bahwa di dalam negara harus ditegakkan keadilan dan moralitas berdasarkan pada nilai-nilai etik Alquran itu sendiri.
“Adapun prosedur dan metode pengorganisasian kekuasaan dan penggunaannya secara efektif, bijak dan wajar, Alquran menawarkan prinsip syura yang sayang sekali tidak berkembang secara berarti dalam sejarah Islam sesudah setengah abad pertama, terutama karena persaingan dinastik dan permusuhan di antara para penguasa, raja dan para sultan dari daerah kekuasaan Islam” (Maarif 1987).
Pada dasarnya, syura (mutual consultation)memang tidak hadir bersamaan dengan hadirnya Islam tetapi telah ada sebelum Islam sekalipun. Dalam prakteknya, syura pertama kali diterapkan setelah wafatnya Nabi yaitu ketika terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah di balai Bani Saidah. Pada hari berikutnya pemilihan Abu Bakar dikuatkan oleh ijma’ (konsensus) umat Islam melalui baiat yang diberikan oleh masing-masing perwakilan suku kepada Abu Bakar.
Sementara ijma’ menurut Rahman (2000), yaitu suatu proses organis dan seperti suatu organisme, ia berfungsi sekaligus tumbuh: pada setiap saat ia memiliki kekuatan dan validitas fungsional yang tinggi, dan dalam artian ini, ia bersifat ‘final’; tetapi pada saat yang sama ia juga mencipta, mengasimilasi, memodifisir dan menolak unsur-unsur dari luar dirinya.
Dalam perjalanan sejarah Islam, konsep syura hanya dijalankan selama 30 tahun pertama setelah wafatnya Nabi. Selanjutnya pelaksanaan syura secara murni terkubur bersamaan dengan kafannya Ali. Pada masa-masa berikutnya (Umayah, Abasiah, Usmani), syura hanya menjadi formalitas belaka bahkan tidak pernah tersentuh oleh penguasa dinasti yang sentralistik dan otoriter. Sehingga dalam memasuki era modern umat menjadi bingung dalam menentukan sistem politik yang harus digunakan, karena syura (musyawarah) sebagai inti dari demokrasi tidak dikembangkan selama berabad-abad dalam sejarah Islam sebagai doktrin egaliteriaisme (Maarif 2004).
Syura menempatkan manusia sama di depan hukum, sejarah, dan Tuhan” (kutipan wawancara tanggal 17 April 2012). Dalam syura terkandung doktrin egaliter yang hilang dalam sejarah Islam.  Prinsip egaliter merupakan poin yang sangat sentral bahkan egaliter disebut sebagai bagian dari tauhid. Ajaran tauhid yang berarti bahwa Allah itu esa memiliki implikasi bahwa humanity is one, kemanusiaan itu satu. Untuk menjaga persatuan harus ada persamaan dan keadilan.
Menegaskan pentingnya prinsip egaliter, Maarif mengutip surat Hujurat ayat 13 yang mengatakan, manusia paling mulia di hadapan Tuhan yaitu yang paling bertakwa. Dengan demikian, seseorang meskipun mengaku sebagai keturunan Nabi tidak bisa begitu saja menganggap orang lain lebih rendah daripadanya, seperti yang banyak terjadi pada pemimpin-pemimpin dinastik yang ototriter di Timur Tengah.
Karena konsep syura yang menekankan egaliterianisme merupakan gagasan politik utama dalam Alquran, maka sistem politik demokrasi nampaknya lebih dekat kepada cita-cita politik Qurani dan lebih sesuai untuk dilaksanakan dalam konteks modern. Walaupun tidak selalu demokrasi identik dengan praktek demokrasi barat. Aspek-aspek sekuler dari demokrasi dapat saja disingkirkan sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolaknya.
Mengutip pendapat Rahman, Maarif (1987) menyebut bahwa institusi syura atau nadi (sidang) telah ada dalam masyarakatArabiaa sebelum Islam. Dalam sidang ini perwakilan kepala-kepala suku dari berbagai kota melakukan permusyawaratan yang kemudian institusi ini didemokrasikan oleh Alquran. Jika melihat hal ini, maka pilihan kaum modernis terhadap demokrasi bukanlah sesuatu yang dibuat-buat atau sekadar untuk mengakomodasi terhadap institusi politik demokratik Barat.
Namun walaupun demikian, syura sebagai gagasan politik yang berlandaskan nilai-nilai etik Qurani pada beberapa hal yang mendasar berbeda dengan sistem demokrasi. Maarif mencontohkan, parlemen di sebuah negara menghalalkan judi karena didukung oleh lebih 50% anggotanya. Dalam sistem demokrasi Barat, judi dengan demikian menjadi halal atau legal. Sementara di dalam syura, hal itu tidak mungkin berlaku sekalipun didukung oleh 100% anggota parlemen sebagai perumus dan pembuat undang-undang. Karena judi merupakan salah satu kegiatan yang dilarang oleh Allah. Sehingga dalam sistem syura, di atas parlemen masih ada ketentuan agama yang tidak boleh dilanggar dengan alasan apa pun, kecuali dalam kondisi yang sangat darurat.
Berbicara mengenai peluang diterapkannya syura di masa depan di Indonesia sebagai alternatif antara sistem demokrasi dan khilafah mungkin dapat dikaji lebih mendalam dalam kesempatan yang berbeda. Yang pasti yaitu ide negara Islam di Indonesia sudah tidak diperlukan lagi, bahwa terutama yang diperlukan yaitu moral Islam harus tetap menjadi payung besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila yang sudah disepakati sebagai ideologi yang terbuka harus membuka pintu seluas-luasnya bagi wahyu, sehingga tuduhan Pancasila yang sekuler dapat ditangkal. Meskipun sesungguhnya subtansi syura telah tercermin pada sila keempat Pancasila.
Perkembangan syura akan sangat bergantung dengan kultur dimana syura itu dikembangkan. Syura akan berhasil diterapkan sebagai suatu sistem yang mampu membawa kesejahteraan jika moralitas para politisi dan pemimpinnya dapat dipertanggungjawabkan. Partai politik di negara modern saat ini merupakan organisasi yang paling memungkinkan untuk memerjuangkan syura terutama di Indonesia. Namun sayangnya banyak partai politik di negeri ini yang berazaskan Islam sekalipun yang berperilaku bobrok secara moral.
Perlu dicatat, baik khilafah, syura, demokrasi, otoriter, monarki atau sistem apa pun tentu memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Semua sistem ini sebenarnya memiliki tujuan dasar yang hampir sama yaitu kesejahteraan bagi rakyat. Namun baik buruknya suatu sistem tidak dapat dilepaskan dari perilakuk pemimpin, politisi dan para pemangku kepentingan lainnya. Jika sebagus apa pun konsep suatu sistem tetapi apabila tidak diiringan dengan moral manusianya yang bagus pula, maka akan percuma konsep atau sistem tersebut begitupun dengan di Indonesia.
Sehingga melihat keadaan Indonesia saat ini yang galau di alam demokrasinya, harus pula melihat pemimpin atau kualitas pemimpinnya. Karena kelemahan terbesar tetaplah ada pada pemimpin yang telah kehilangan kepekaan dalam menjalankan kepemimpinannya sebab jika tidak demikian, negeri ini akan terus saja meluncur tanpa ada yang merasa bertanggung jawab (Maarif 2004). Manusia-manusia Indonesia terutama generasi penerus haruslah dipersiapkan sematang mungkin sebagai seorang pemimpin Indonesia yang berkualitas. Karena sistem apa pun ke depannya yang akan dipilih oleh bangsa ini pun akan bergantung pada kemampuan dan kualitas pemimpinnya.
Jika syura pun di masa depan tidak dapat diterapkan di Indonesia dengan tetap menggunakan sistem demokasi atau berubah menjadi negara Islam. Terutama sekali yang harus diwujudkan yaitu misi Islam yang sebenarnya: menebarkan rahmat untuk alam semesta. Sehingga subtansi Islam sebagai agama yang sempurna dapat dirasakan dengan jelas oleh seluruh umat manusia. Bukan Islam yang hanya mengandalkan bentuk luaran belaka dan penuh dengan simbol-simbol serta romantisme sejarah yang menyesatkan.
BAB VI: TINDAKAN MAARIF
Seperti yang telah diakui Maarif dalam otobiografinya, bahwa pasca-Chicago dan mendapat “basuhan” Fazlur Rahman. Maarif menjadi demokrat-pluralis sejati, ide negara Islam yang ada di pikirannya selama puluhan tahun telah sirna. Yang ada yaitu bagaimana mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara di alam demokrasi yang penuh dengan keberagaman ini. Penafsirannya akan keislaman dan keindonesiaan yang demikian, membuatnya oleh banyak orang disandingkan dengan mendiang Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid dalam hal pemikiran.
Sebagai cendekiawan muslim yang terdidik, Maarif dalam menyampaikan bahkan mempertahankan argumennya tentu menggunakan cara-cara yang terdidik pula. Apalagi posisinya sebagai salah satu sesepuh di Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah selama 1998 – 2005. Tentu perilaku dan pendapatnya banyak disorot oleh massa bahkan banyak pula yang akan mengamininya.
Konsistensinya terhadap ide demokrasi dan Pancasila sesungguhnya dapat dilihat dari karya-karya yang telah dihasilkannya. Terutama berawal dari disertasi doktornya di Chicago dengan judul Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constuent Assembly Debates in Indonesia. Yang selanjutnya menjadi salah satu buku induk referensi dari penulisan laporan ini. Begitupun dengan tulisan-tulisannya yang lain, selalu mencerminkan sikap dan posisi politik yang dipilih Maarif.
Karya-karyanya itulah yang dapat dikatakan sebagai tindakan nyata Maarif dalam memperthankan argumentasinya. Selain itu, Maarif sering pula memberikan pengantar untuk tulisan-tulisan keislaman dan kenegaraan yang bersifat pluralitas. Menjadi pembicara dalam pelbagai seminar, kongres, konferensi bahkan talkshow news sekalipun, serta sebagai kolumnis tetap di salah satu surat kabar tanah air, Maarif tetap pada pendiriannya.
Sehingga tidak salah jika banyak penghargaan yang didapatnya sebagai bentuk apresiasi atas pemikiran dan konsistensinya dalam mempetahankan pemikirannya tersebut. Beberapa apresiasi tersebut yaitu Ramon Magsaysay Award (2008) dan Hamengkubuwono IX Award (2008).
“Barangkali saja usiaku yang menjelang malam ini tidak akan punya kesempatan lagi untuk menyaksikan kebangkitan peradaban Islam yang autentik, toleran, dan berkualitas tinggi. Tetapi setidak-tidaknya aku dengan bekal dari “pesantren” Chicago tidak pernah tinggal diam dalam menyuarakan-pemikiran terobosan, sekalipun nilainya belum seberapa dikaitkan dengan harapan yang teramat besar untuk sebuah perubahan yang fundamental dengan Alquran sebagai hakim yang tertinggi” (Maarif 2009).
BAB VII: SIMPULAN
Pada akhirnya bagi Indonesia saat ini di era yang modern, pilihan untuk berdemokrasi merupakan pilihan yang terbaik di antara yang baik. Demokrasi walaupun ideologinya bersumber dari barat, tetapi sesungguhnya masyarakat Indonesia telah berdemokrasi sejak ratusan tahun yang lalu dengan caranya sendiri seperti yang dikatakan Bung Hatta di atas. Sehingga demokrasi bukanlah sesuatu hal yang tabu walaupun pada beberapa waktu demokrasi sempat mati suri dan hanya menjadi slogan belaka.
Pilihan untuk berdemokrasi tentu bukan tanpa alasan, perdebatan selama sembilan tahun di Konstituante untuk menentukan ideologi negara– Islam atau Pancasila– telah memenangkan demokrasi dan Pancasila melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Tetapi bukan Islamnya yang kalah melainkan ide negara Islam itu yang kalah. Ide negara Islam yang sedikit banyak terinspirasi dari sistem khilafah menjadi tidak realistik dan bahkan usang. Karena pada faktanya imperium khilafah yang dinastik dan dua negara Islam modern– Pakistan dan Iran– belum dapat dikatakan sukses setidaknya secara ekonomi hanya karena berepublik Islam. Karena pada dasarnya Islam sebagai agama bahkan Tuhan hanya sebagai simbol dan legitimasi kekuasaan semata.
Adapun konsep syura yang berlandaskan nilai-nilai etik Alquran dan pernah diterapkan secara utuh selama masa kepemimpinan al-Khulafa ar-Rasyidun menjadi alternatif. Toh syura mendekati kemiripannya dengan sistem demokrasi, tetapi syura tetap berbeda dengan demokrasi karena syura menempatkan agama di atas segala-galanya. Sementara yang membedakan syura dengan khilafah, yaitu syura lebih menekankan prinsip egaliterianisme yang berkeadilan sebagai ajaran tauhid daripada khilafah yang dinastik dan cenderung otoriter.
Yang terpenting lagi terlepas dari perdebatan pilihan penggunaan sistem, yaitu kualitas moral manusia dan pemimpin atau politisi yang harus diperbaiki. Karena sistem apa pun yang digunakan apabila tidak dibarengi dengan moral yang Islami dari para pemangku kepentingan, maka akan sia-sia belaka suatu sistem atau konsep yang telah dirancang sedemikian rupa. Sebab pada dasarnya semua sistem memiliki tujuan yang sama yaitu kesejahteraan bagi rakyat.
Dalam perjalanannya sebagai cendekiawan sekaligus tokoh muslim kenamaan di tanah air. Ahmad Syafii Maarif telah menyumbangkan ide dan pemikirannya untuk bangsa, terutama dalam masalah keislaman dan kenegaraan. Lebih dari itu, Maarif telah menunjukkan konsistensinya sebagai demokrat-pluralis yang mendukung Pancasila melalui tulisan-tulisannya maupun perilakunya sehari-hari sebagai salah satu orang Indonesia yang terdidik.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Raziq, Ali Abd, 2002, Islam Dasar-Dasar Pemerintahan Kajian Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, Yogyakarta: Jendela.
Engineer, Asghar Ali, 2000, Devolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maarif, Ahmad Syafii, 1987, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES.
___________________   2004, Mencari Autentisitas dalam Kegalauan, Jakarta: PSAP.
___________________   2009, Titik-Titik Kisar di Perjalananku, Jakarta: Mizan.
___________________ dkk, 2010, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Jakarta: Paramadina.
Mannheim, Karl, 1991, Ideologi dan Utopia, Yogyakarta: Kanisius.
Rahman, Fazlur, 2000, Islam, Bandung: Pustaka.
Tahrir, Hizbut Tahrir, 2005, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi), Jakarta: HTI-Press.

sumber: kompasiana.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa Pendapat Kamu??
Tinggalkan komentar teman kritik dan saran sangat saya tunggu..
Tapi mohon jangan beri komentar spam.
Dan pakai bahasa yang sopan.