Abstrak
Sistem khilafah mengandaikan penggunaan hukum Islam sebagai dasar negara (syari’at).
Sistem ini banyak dicita-citakan oleh kalangan Islam fundamentalis,
atau sedikit ekstrem lagi yaitu kalangan Islam radikal. Sistem ini
berlaku sejak zaman khulafaurrasyidin sampai jatuhnya
dinasti Turki Usmani di awal abad 20. Bersamaan dengan jatuhnya Turki
Usmani, sistem demokrasi yang lebih terbuka dan memberikan ruang
kebebasan menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia.Perdebatan
mengenai penggunaan kedua sistem ini di Indonesia berlangsung sampai
sekarang, terutama pada masa demokrasi liberal kisaran 1950-an di
tubuh Konstituante. Menanggapinya, Ahmad Syafii Maarif, mengajukan
konsep syura sebagai landasan dalam sistem pemerintahan. Konsep syura yaitu penggunaan musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan yang menjunjung tinggi kesetaraan setiap orang.
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ahmad
Syafii Maarif, merupakan salah satu tokoh nasional dan cendekiawan
muslim tersohor Indonesia dewasa ini. Terlepas dari bajunya sebagai
petinggi Muhammadiyah terutama sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah tahun
1998 – 2005, Maarif dikenal luas oleh publik sebagai salah seorang
pemikir Islam. Sikap politiknya untuk memilih sistem demokrasi dan
mendukung Pancasila sebagai dasar negara, telah menimbulkan pro-kontra
di kalangan pemikir Islam Indonesia khususnya dan masyarakat luas pada
umumnya.
Sikap politik
tersebut muncul akibat dari perdebatan pilihan ideologi yang tak kunjung
selesai antara kalangan Islamis yang fundamental-radikal, dengan
kalangan demokrat (Islam) yang plural-liberal. Perdebatan mengenai
pilihan ideologi tersebut– Islam atau demokrasi –sebenarnya secara de jure telah selesai, ketika Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sebenarnya
diskusi tentang negara Islam di Indonesia merupakan fenomena baru, dan
itu hampir seluruhnya dilakukan oleh penulis-penulis dan politisi
modernis muslim di abad 20 (Maarif 1987). Tetapi perdebatan tersebut
masih berlanjut sampai sekarang, dan Maarif melalui disertasinya
mengajukan satu konsep alternatif yang kiranya dapat diterima oleh semua
kalangan yaitu apa yang disebut dengan konsep syura.
Dalam sejarah perkembangan Islam, sistem khilafah
menjadi sistem pemerintahan yang digunakan beratus-ratus tahun oleh
dinasti muslim yang berkuasa, terutama sejak kematian Ali ibn Abi
Thalib. Yaitu Muawiyah yang berhasil ‘megalahkan’ dan menjatuhkan Ali,
sistem khilafah yang dinastik dimulai dengan ditempatkannya Yazid –putra
Muawiyah – pada posisi sebagai Amirul Mukminin (gelar khalifah),
padahal tradisi Arab tidak mengenal pemerintahan dinasti (Engineer
2000).
Kata khilafah sendiri merupakan bentuk verbal noun dari takhallafa, menggantikan posisi yang lain. Sehingga khilafah
yaitu menggantikan yang lain ketika yang lain itu tidak hadir, mati
atau ketidakmampuan yang digantikan dan sebagainya. Sementara Ibn
Khaldun menjelaskan bahwa hakekat dari khilafah yaitu menggantikan
pembuat syara’ dalam menjaga agama dan politik dunia (ar-Raziq 2002).
Sistem
pemerintahan khilafah berbeda dengan seluruh bentuk sistem pemerintahan
yang ada di dunia. Baik dari segi asas yang mendasarinya, dari segi
pemikiran, pemahaman, maqayis (standar), dan hukum-hukumnya yang mengatur berbagai urusan (HTI 2005). Bahkan al-Mawardi mengidentifikasi sistem khilafah sebagai sistem yang memberlakukan syariah dan menjadikan Alquran sebagai undang-undang hukum pidana (Engineer 2000).
Ciri lain dari
sistem khilafah yaitu pemimpinnya yang disebut dengan khalifah dan
bergelar Amirul Mukminin (pemimpin bagi orang-orang yang beriman).
Menurut ar-Raziq (2002), khalifah merupakan penguasa tertinggi (as-sultan al-a’zam)
dan memimpin secara umum dalam urusan agama dan dunia menggantikan Nabi
Muhammad SAW. Sementara HTI (2005), mendefinisikan khalifah sebagai
orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan
penerapan hukum-hukum syariah.
Semenjak sistem
khilafah yang dinastik diberlakukan, terutama pada masa dinasti Umayah
dan Abasiah peradaban Islam mengalami kemajuan dan kejayaan yang luar
biasa. Banyak kota-kota muslim yang saat itu menjadi pusat peradaban
sekaligus ilmu pengetahuan, seperti Baghdad, Damaskus dan Kairo. Hal ini
justru berbanding terbalik dengan keadaan Eropa pada waktu yang sama,
ketika Eropa mengalami kemunduran di abad pertengahan.
Seiring
perkembangan zaman dan semakin merosotnya kejayaan Islam di awal-awal
abad 20, kekuasaan dinasti muslim di bawah sistem khilafah
akhirnya runtuh bersamaan dengan dimulainya Perang Dunia pertama. Hal
tersebut ditandai dengan jatuhnya kekuasaan Kekaisaran Turki Ottoman,
dinasti terbesar terakhir penguasa muslim dan bergelar Sultan.
Kemenangan Inggris pada PD-I dan sekutu pada PD-II, juga berdampak pada
menyebarnya sistem pemerintahan yang dianut oleh negara-negara tersebut
(barat) yaitu sistem demokrasi.
Demokrasi sendiri berasal dari bahas Latin yaitu demos (rakyat) dan kratos
(tatanan). Sehingga secara sederhana, demokrasi dapat diartikan sebagai
suatu tatanan atau nilai yang memperhatikan kedudukan rakyat untuk
membangun persamaan sosial yang kolektif. Yaitu kedaulatan bersumber
dari, oleh dan untuk rakyat. Kebebasan dan kesetaraan setiap orang
menjadi yang utama dari visi demokrasi.
Sistem demokrasi
memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi masyarakat atau setiap orang
untuk berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan politik, ekonomi,
pendidikan, sosial dan budaya. Perangkat hukum dan perundang-undangan
dalam sistem demokrasi pun dapat disesuaikan dengan budaya setempat dan
perkembangan zaman. Dengan melihat keadaan yang demikian, sistem
demokrasi dalam hal tata pemerintahan dan bahkan ketatanegaraan, serta
prilaku politik masyarakat jelas berbeda dengan sistem khilafah.
Perbedaan
mendasar dari kedua sistem tersebut dapat dilihat terutama dari dasar
hukum yang digunakan, pola rekrutmen pemimpin, dan tingkat partisipasi
masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan publik. Seperti yang
disebutkan di awal, bahwa perdebatan mengenai pilihan untuk menggunakan
salah satu dari dua sistem tersebut masih berlangsung sampai sekarang
termasuk di Indonesia.
Sebagai negara
yang telah memilih demokrasi sebagai suatu sistem, menjadi wajar kiranya
jika masih terdapat sekelompok kecil masyarakat yang masih terus
berjuang untuk menggolkan sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan dan menginginkan Indonesia menjadi sebuah negara Islam. Sehingga konsep syura yang salah satunya ditawarkan oleh Maarif sebagai alternatif sistem antara demokrasi dan khilafah, patut untuk diperhatikan dan dipelajari lebih dalam lagi.
B. Rumusan Masalah
1. Sejauh mana relevansi penggunaan sistem khilafah di Indonesia saat ini?
2. Mengapa sekarang sistem demokrasi menjadi pilihan yang terbaik bagi Indonesia?
3. Bagaimana konsep syura itu dapat dipahami?
C. Tujuan
· Mengetahui pemikiran politik Islam Ahmad Syafii Maarif.
· Mengetahui sekilas latar belakang kehidupan Ahmad Syafii Maarif.
· Mengetahui sejauh mana relevansi penggunaan sistem khilafah di Indonesia saat ini.
· Mengetahui alasan sistem demokrasi sebagai pilihan terbaik sekarang.
· Mengetahui yang dimaksud dengan konsep syura.
· Mengetahui perbandingan secara umum antara khilafah, demokrasi dan syura.
D. Landasan Teori
Perdebatan di
antara golongan Islamis yang menginginkan adanya Negara Islam Indonesia
dengan golongan nasionalis-sekuler yang bertahan pada konsep Negara
Pancasila sampai saat ini masih berlangsung. Walaupun pada tahun 1959
Negara Pancasila keluar sebagai “pemenang”, namun sebagai wacana
perdebatan sah-sah saja mengingat Pasal 28E (3) UUD 1945 “Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Ahmad Syafii Maarif merupakan salah satu cendekiawan muslim yang turut mengamati dan meneliti perdebatan tersebut. Setelah nyantri
di Chicago, pemikirannya berubah menjadi seorang Pancasilais yang
sebelumnya merupakan pengusung konsep Negara Islam. hal ini dapat
dipahami, karena menurut Mannheim (1991) embaca
pemikiran seseorang tak bisa dilakukan secara ahistoris. Pemikiran tak
tumbuh begitu saja dengan sendirinya. Pemikiran seseorang banyak
ditentukan oleh pengetahuannya. Latar belakang sosial dan psikologi
seseorang tak bisa dilepaskan dalam proses terjadinya pengetahuan.
E. Metode Penelitian
§ Jenis Penelitian
Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif kualitatif, karena tidak disertai dengan
angka-angka statistik melainkan terbatas pada penganalisisan konsep
atau gagasan. Sehingga berusaha mengungkap dan menganalisis
pemikiran politik Islam Ahmad Syafii Maarif.
§ Informan Penelitian
Prof. Dr. Drs. Ahmad Syafii Maarif, MA.
§ Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber-sumber primer berupa text book’s, yang ditulis langsung oleh informan. Serta buku-buku lainnya yang relevan dan menunjang dalam penulisan laporan ini. Juga hasil wawancara langsung bersama informan.
§ Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data-data dalam
penelitian dan penulisan laporan, menggunakan metode studi pustaka
dengan mengaji literatur atau buku-buku sebagai sumber data. Metode lainnya yaitu wawancara langsung dengan informan pada hari Selasa, 17 April 2012 di Masjid Nogotirto, Gamping, Sleman.
§ Metode Analisis Data
Metode analisis data
yang digunakan yaitu analisis deskriptif kualitatif, karena penelitian
ini merupakan penelitian deksriptif dan tidak memerlukan angka sebagai
pengolah data.
BAB II: AHMAD SYAFII MAARIF
Dilahirkan pada hari Sabtu, 31 Mei
1935, di kawasan kecil bernama Calau dalam kenagarian Sumpur Kudus,
Sumatra Barat. Ahmad Syafii Maarif oleh Fathiyah, dengan ayah Ma’rifah
Rauf Datuk Rajo Malayu. Terlahirkan sebagai seorang anak di keluarga
yang sangat sederhana namun bersahaja, tidak menjadikan Maarif untuk
malas menuntut ilmu.
Pendidikan dasarnya ditempuh selama
enam tahun di Sekolah Rakyat (SR) sampai tahun 1947. Selanjutnya
beberapa lama belajar agama pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah
Sumpur Kudus, pada saat belajar di MI inilah Maarif mulai mendapatkan
pengajaran tentang nilai-nilai kemuhammadiyahan. Pengalaman masa kecil
dan masa belajar Maarif ketika di Sumpur Kudus juga turut memengaruhi
pembentukan kepribadiannya.
Setelah nganggur sekitar tiga tahun
lamanya, Maarif melanjutkan studi ke Madrasah Mu’allimin Lintau di
Balai Tangah, Kabupaten Tanah Datar pada tahun 1950 – 1953. Setelah itu,
Maarif atas ajakan M. Sanusi Latief hijrah ke Yogyakarta dan meneruskan
sekolah pada Madrasah Mu’allimin Yogyakarta dan tamat tahun 1956.
Pernah pula Maarif mengikuti sekolah montir di Jl. Ngabean (sekarang Jl.
Ahmad Dahlan).
Setamatnya Mu’allimin Yogyakarta,
Maarif dikirim ke Lombok untuk mengajar ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di
PGA Muhammadiyah Pohgading. Namun, tahun 1957 Maarif pulang kampung ke
Sumpur Kudus dan kembali lagi ke Jawa tepatnya Surakarta pada tahun yang
sama. Sesampainya di Surakarta, dasar karena nafsu rasa ingin tahunya
yang tinggi, Maarif kembali melanjutkan studi di Universitas
Cokroaminoto selama 1957 – 1964.
Awalnya tercatat sebagai mahasiswa
Fakultas Hukum, tetapi karena harus kuliah sambil bekerja, maka Maarif
pindah ke Jurusan Sejarah-Budaya FKIP yang lebih ‘aman’ presensinya
sampai tamat. Karier pendidikan Maarif terus berlanjut, dengan
merampungkan kuliah sebagai mahasiswa S-1 di FKIS-IKIP Yogyakarta
(sekarang UNY) tahun 1968, dengan judul skripsi “Gerakan Komunis di Vietnam (1930 – 1954)”. Selanjutnya mengajar di alamamaternya sampai tahun 2005.
Pada tahun 1972, terpilih untuk
kuliah lanjut ke Northern Illinois University (NIU), DeKalb, Illionois
untuk bidang sejarah dengan beasiswa Fulbright. Tetapi, baru dua
semester berjalan Maarif kembali ke Indonesia karena Lip– sumber
inspirasi dalam perang dan damai– istrinya tidak sanggup menghadapi
anaknya (Iwan) tanpa ayahnya. Tetapi sekali lagi, tahun 1976 Maarif
terbang lagi ke Amerika Serikat untuk kuliah di Ohio University (OU),
Athens. Dalam tempo empat kuartal akhirnya berhasil meraih gelar M.A.
tahun 1980, dalam bidang sejarah dengan tesis “Islamic Politics under Guided Democracy in Indonesia (1959 – 1965)”.
Dari beasiswa Ford Foundation dan
USAID perwakilan Jakarta, tahun 1978 Maarif telah berada di Chicago
untuk melanjutkan studi S-3 di Univesitas Chicago pada Departemen
Bahasa-Bahasa Timur Dekat dan Peradaban, dengan fokus kajian tentang
pemikiran Islam di bawah payung Studi Kearaban dan Islam. Hingga
berhasil mempertahankan disertasinya dengan judul “Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constuent Assembly Debates in Indonesia”,
pada 3 Desember 1982. Puncak karier pendidikan Maarif tentu pada saat
meraih gelar Guru Besar Filsafat Sejarah UNY tahun 1997.
Berbicara masalah pemikiran Islam
atau lebih spesifik lagi pemikiran politik Islam Maarif, tidak dapat
lepas dari latar belakang pendidikan yang ditempuhnya. Seperti yang
diakuinya, bahwa sampai tahun akhir 1970-an Maarif merupakan salah
seorang yang anti-Pancasila dan pendukung kuat gagasan Negara Islam
Indonesia. Bahkan ketika menempuh master di Athens dianggapnya sebagai
periode status quo dalam pemikiran:
“Selama
periode Athens (1976 – 1978), dari segi pemikiran keislamanku belum ada
perkembangan yang berarti,… Aku masih terpasung dalam status quo
pemikiran. Masih berkutat pada Maududi, Maryam Jameelah, tokoh-tokoh
ikhwan, Masyumi, dan gagasan tentang negara Islam… Apalagi aku aktif
dalam MSA (Muslim Student’s Association), yang masih sangat merindukan
tegaknya sebuah negara Islam di suatu negeri. Seakan-akan dengan merek
serba Islam itu, semuanya akan menjadi beres. Betapa sederhananya cara
berpikir seperti ini” (Maarif 2009).
Baru pada masa ketika studi di
kampus orientalis Chicago dan mendapat “basuhan” dari sang guru Fazlur
Rahman, Maarif secara drastis mengalami perubahan dalam pola pemikiran
Islamnya. Maarif yang dulunya anti-Pancasila, menjadi sangat Pancasilais
dan pro-demokrasi, konsep negara Islam yang ia pegang akhirnya pudar.
Apa yang Maarif sebut sebagai titik kisar ini berlaku sejak sekitar 1979
sampai sekarang. Titik kisar yang telah mengubah secara mendasar sikap
intelektualnya tentang Islam dan kemanusiaan.
Sekarang Maarif masih dan
sepatutnya tetap menunjukkan sikap konsisten terhadap apa yang ia pilih.
Maarif sekarang dikenal sebagai Pancasilais, seorang demokrat-pluralis
yang disandingkan dengan mendiang K.H. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis
Madjid.
“Titik
kisar dalam pemikiranku tentang Islam tidak hanya bertalian dengan teori
kekuasaan. Masalah toleransi inter dan antar-agama, juga mendapat porsi
yang penting setelah aku “dibasuh” di Chicago” (Maarif 2009).
BAB III: KEUSANGAN SISTEM KHILAFAH
Jika dilihat dari sebutan pemimpinnya bahwa sistem khilafah dipimpin oleh seorang khalifah yang bergelar Amirul Mukminin. Maka sistem khilafah
telah ada sejak sepeninggal Nabi Muhammad atau ketika Abu Bakar dibaiat
di Balai Bani Saidah sebagai pemimpin umat muslim pengganti Nabi.
Sampai pada runtuhnya Kekaisaran Turki Usmani –walaupun pada abad-abad
terakhirnya bergelar Sultan– di awal abad 20 khilafah menjadi salah satu sistem pemerintahan yang ada di dunia.
Cita-cita untuk menegakkan kembali sistem khilafah atau setidak-tidaknya negara Islam yang berdasarkan syariah masih terus muncul termasuk di Indonesia. “Dalam
sebuah negara demokrasi, sah-sah saja jika ada wacana untuk menjadikan
Indonesia sebagai sebuah negara Islam atau menerapkan sistem khilafah
sebagai sistem pemerintahan”, kata Maarif ketika kami wawancarai.
Apalagi melihat kondisi bangsa yang porak-poranda seperti ini, semakin
yakinlah kelompok pengusung negara Islam akan pilihannya dan semakin
gencar berwacana karena menganggap kerusakan negeri ini disebabkan
kesalahan dalam memilih sistem yaitu demokrasi.
Sebutan negara Islam untuk suasana Indonesia
yang plural sudah tidak diperlukan lagi. Yang terpenting sesungguhnya
bagaimana moral Islam dapat menyinari masyarakat luas melalui perkawinan
perkawinan perangkat-perangkat hukum Islam dengan sistem hukum nasional
melewati proses demokratisasi. Sehingga masih adanya kelompok-kelompok
kecil radikal yang bercita-cita untuk mendirikan negara Islam di
Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Merupakan cara berpikir yang usang
dan tidak realistik, bahkan sebuah halusinasi politik yang sia-sia
(Maarif 2009).
Keusangan berpikir dan ketidakrealistisan
cita-cita mendirikan negara Islam sehingga merupakan halusinasi politik
belaka, memiliki beberapa dasar atau alasan kuat secara teoretik maupun
empirik. Secara teoretik bahwa di dalam Alquran sendiri tidak tidak
terdapat istilah daulah, kalaupun ada tidak bermakna sebagai negara. Istilah daulah
yang terdapat di dalam Alquran (Q.S. 59: 7) digunakan secara figuratif
untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan (Maarif
1987).
Pertanyaan selanjutnya, mengapa Alquran tidak memberikan suatu teori kenegaraan yang pasti dan harus diikuti oleh umat Islam? “Alquran bukan teori politik”,
sebut Maarif pada awal perbincangan kami di Masjid Nogotirto pada 17
April 2012. Karena pada prinsip- nya Alquran merupakan petunjuk etik
bagi manusia dan bukan sebuah kitab ilmu politik. Dan merupakan
suatu kenyataan bahwa institusi-institusi sosio-politik dan organisasi
manusia selalu berubah setiap saat (Maarif 1987).
Dikatakan sebagai petunjuk etik karena di
dalam Alquran lebih banyak mengandung perintah dan larangan yang
bersifat ‘wajib’ hukumnya bagi umat Islam. Bukan perintah untuk
mendirikan negara Islam dan larangan menggunakan sistem di luar sistem khilafah.
Sehingga Alquran lebih sebagai petunjuk hidup dan sumber moralitas
manusia dalam menjalankan hidupnya. Karena sifat institusi politik dan
sistem kenegaraan yang selalu berubah dan sangat berbeda dengan sifat
Alquran yang kekal. Maka Alquran tidak secara tegas menjelaskan tentang
suatu sistem pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan oleh umat
Islam.
Salah satu teori politik tentang kekuasaan dan kekhilafahan dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Mawardi. Dalam Al-Ahkam as-Sultaniyah-nya,
Mawardi menjelaskan konsep imamah yang disebut bahwa lembaga Imamah
diperlukan sebagai persyaratan syariah bukan persyaratan logika
(Engineer 2000). Imam sendiri menurut Mawardi dapat dipilih melalui dua
cara yaitu melalui ahl al-hall wa al-‘aqd (dewan), atau ditunjuk (ditetapkan) oleh imam yang masih memerintah (Maarif 1987).
“Yang terjadi selama ini bahwa agama
bahkan tuhan hanya menjadi simbol dan alat semata bagi sekelompok kecil
orang untuk meraih kekuasaan di bawah bendera khilafah” (kutipan
wawancara tanggal 17 April 2012). Sehingga secara teori dan tindakan
dapat terbantahkankan, apalagi tidak sedikit kelompok pengusung khilafah atau negara Islam yang menggunakan cara-cara kekerasan. Lalu bagaimana umat lain dapat memahami Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin jika dalam meyiarkannya saja sudah berkelakuan semena-mena?
Contoh nyata, setidaknya di dunia ini ada
dua negara yang secara konstitusional menggunakan Islam sebagai dasar
negaranya, yaitu Republik Islam Pakistan dan Republik Islam Iran. Tetapi
apakah kedua negara tersebut dapat dikatakan maju, aman dan sejahtera
dengan menggunakan label Islam? Pada kenyataannya kedua negara ini
justru dapat dikatakan tidak lebih baik dari Indonesia. Hal itu bukan
terletak pada kata Islamnya, tetapi terletak pada moral dan perilaku
masyarakat dan bahkan pemimpinnya yang menggunakan agama sebagai simbol
dan sumber legitimasi kekuasaan semata.
Penggunaan label agama dan tuhan itulah yang
disebut dengan Politik Identitas. Di Indonesia sendiri politik
identitas tidak hanya berkutat pada masalah agama, tetapi juga terkait
dengan etnisitas, ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal yang
diwakili pada umumnya oleh para elit dengan artikulasinya masing-masing
(Maarif, dkk 2010).
Mereka (kelompok radikal) tidak dapat memahami pesan Bung Hatta yang universal, “Pakailah filsafat garam: tak tampak tetapi terasa, janganlah memakai filsafat gincu: tampak tetapi tak terasa” (Maarif 2004).
BAB IV: PILIHAN BERDEMOKRASI
Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan
tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta, sistem yang digunakan
dalam menjalankan kekuasaan yaitu sistem demokrasi yang menitikberatkan
pada kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Walaupun pada masa
demokrasi liberal dengan sistem parlementer (1950 – 1959), terdapat
perdebatan hebat antara golongan modernis dengan golongan Islamis di
Konstituante dalam menentukan dasar dan bentuk negara serta sistem
pemerintahan yang akan digunakan.
Sampai pada akhirnya melalui Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959, dinyatakan bahwa sistem demokrasi menjadi
pemenangnya. Tetapi harus dicatat bahwa bukan berarti Islam yang kalah,
tetapi yang kalah yaitu ide Negara Islam Indonesia itu sendiri. Sehingga
secara konstitusi perdebatan antara kedua ideologi tersebut telah
selesai. Walaupun secara konstitusi pula hal itu sah-sah saja jika masih
berlanjut sampai sekarang sebagai bentuk kebebasan
berpikir dan berpendapat.
“Demokrasi saat ini menjadi pilihan terbaik dari yang baik sebagai sebuah sistem”
(kutipan wawancara tanggal 17 April 2012). Karena di Indonesia sumber
cita-cita dari demokrasi sebenarnya telah lama terlihat oleh para
pendiri bangsa salah satunya oleh Bung Hatta:
“Pertama, paham sosialis Barat
karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan sekaligus menjadi
tujuannya. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan
Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarumat manusia sebagai
makhluk Tuhan. Ketiga, pengetahuan tentang masyarakat Indonesia yang
ditegakkan atas prinsip kolektivisme” (Maarif 2004).
Masih menurut Hatta (dikutip oleh Maarif,
2004), bahwa sumber yang ketiga ini mengandung lima unsur sebagai ciri
demokrasi desa asli Indonesia: rapat, mufakat, gotong-royong, hak
mengajukan protes bersama, dan hak menyingkir dari wilayah kekuasaan
raja yang tidak adil. Lima unsur ini dipuja di kalangan pergerakan
nasional sebagai dasar yang kuat untuk menciptakan sebuah bangunan
demokrasi sosial dalam sebuah perumahan Indonesia yang merdeka.
Tegaknya keadilan merupakan sesuatu yang
universal dan menjadi kerinduan bersama serta tuntutan abadi umat
manusia di muka bumi. Bahkan untuk kasus Indonesia, di bawah sistem
feodal sekalipun kelima unsur tadi tetap bertahan dengan caranya
sendiri. Fakta ini setidaknya memberi harapan bahwa demokrasi di
Indonesia tidak akan pernah mati. Kalaupun mati itu hanya sementara
waktu dan akan muncul dengan caranya sendiri pula.
Harus diakui bahwa sistem demokrasi
bersumber dari barat, tetapi tidak berarti demokrasi tidak dapat
diterapkan atau tidak cocok dengan peradaban timur dan Indonesia
khususnya. Seperti penjelasan Hatta di atas bahwa demokrasi telah tumbuh
lama di Indonesia dengan caranya sendiri. Walaupun memang saat itu
istilah ‘demokrasi’ tidak dikenal oleh masyarakat tetapi perilaku dan
nilai-nilai kehidupan sehari-hari menunjukkan nilai-nilai demokrasi.
Sehingga tidak salah kiranya para pendiri bangsa tetap memilih sistem
demokrasi daripada sistem kerajaan yang feodal dan sistem khilafah yang cenderung dinastik.
Bukankah di ranah politik legal formal
melalui Konstituante, demokrasi dengan Pancasilanya telah menjadi
pemenang dan mengalahkan ide Negara Islam Indonesia? Rentang waktu
sembilan tahun, 1950 – 1959, telah menjadi saksi bagaimana sengitnya
perdebatan antara golongan nasionalis-Islamis seperti Muh. Natsir dan
Wahid Hasyim (Masyumi), dengan golongan nasionalis-sosialis seperti
Sutan Takdir Alisyahbana dan Ruslan Abdulgani.
Menurut Natsir (dikutip oleh Maarif, 1987), bahwa untuk dasar negara Indonesia hanya ada dua pilihan, yaitu sekulerisme (la-diniyah) atau paham agama (dini),
dan Pancasila bagi Natsir bercorak la-diniyah. Walaupun berbeda tajam
dalam menempatkan Pancasila sebagai dasar negara, sesungguhnya para
modernis Islam Indonesia saat itu termasuk Natsir telah memilih sistem
demokrasi. Demokrasi bagi mereka merupakan mekanisme politik yang lebih
baik untuk mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita politik Islam. Karena
pada faktanya banyak modernis Islam yang justru menentang gerakan
politik otoriter Sukarno pada akhir 1950-an yang kemudian membuahkan
Demokrasi Terpimpin.
Berbeda dari sistem khilafah
yang sentralistik dan mendapat hati di Timur, sistem demokrasi hadir di
belahan bumi barat sebagai sebuah antitesa. Logika demokrasi yaitu kekuasaan harus dibatasi. Negara, apalagi pemimpin atau khalifah dalam sistem khilafah
bukan lagi menjadi aktor utama dalam mengatur kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Sistem ini mengembalikan segala sesuatu kepada suara
rakyat yang diwakili oleh badan representatif. Sistem ini menempatkan
suara mayoritas sebagai basis pengambilan keputusan.
Melalui sistem demokrasi setidaknya suara
rakyat jauh lebih didengarkan oleh pengambil kebijakan karena kedaulatan
berada di tangan rakyat bukan berada pada tangan raja yang dianggap
sebagai wakil Tuhan di bumi. Demokrasi menjamin kebebasan bagi setiap
orang dan mencitakan terciptanya keteraturan tatanan sosial yang
kolektif. Demokrasi sebagai suatu sistem jelas memiliki beberapa
kelemahan, tetapi jika dibandingkan dengan sistem yang lain seperti
otoriter, monarki feodal atau khilafah, demokrasi akan menjadi pilihan yang terbaik.
BAB V: SYURA SEBAGAI ALTERNATIF
“…Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat; sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” (Q.S. Syura: 38).
Demikianlah salah satu ayat dalam Alquran yang memerintahkan umat
manusia untuk menyelesaikan masalahnya dengan musyawarah. Alquran tidak
secara jelas menegaskan bentuk khas dari suatu negara, tetapi
menjelaskan bahwa di dalam negara harus ditegakkan keadilan dan
moralitas berdasarkan pada nilai-nilai etik Alquran itu sendiri.
“Adapun prosedur dan metode
pengorganisasian kekuasaan dan penggunaannya secara efektif, bijak dan
wajar, Alquran menawarkan prinsip syura yang sayang sekali
tidak berkembang secara berarti dalam sejarah Islam sesudah setengah
abad pertama, terutama karena persaingan dinastik dan permusuhan di
antara para penguasa, raja dan para sultan dari daerah kekuasaan Islam” (Maarif 1987).
Pada dasarnya, syura (mutual consultation)memang tidak hadir bersamaan dengan hadirnya Islam tetapi telah ada sebelum Islam sekalipun. Dalam prakteknya, syura
pertama kali diterapkan setelah wafatnya Nabi yaitu ketika terpilihnya
Abu Bakar sebagai khalifah di balai Bani Saidah. Pada hari berikutnya
pemilihan Abu Bakar dikuatkan oleh ijma’ (konsensus) umat Islam melalui baiat yang diberikan oleh masing-masing perwakilan suku kepada Abu Bakar.
Sementara ijma’ menurut
Rahman (2000), yaitu suatu proses organis dan seperti suatu organisme,
ia berfungsi sekaligus tumbuh: pada setiap saat ia memiliki kekuatan dan
validitas fungsional yang tinggi, dan dalam artian ini, ia bersifat
‘final’; tetapi pada saat yang sama ia juga mencipta, mengasimilasi,
memodifisir dan menolak unsur-unsur dari luar dirinya.
Dalam perjalanan sejarah Islam, konsep syura hanya dijalankan selama 30 tahun pertama setelah wafatnya Nabi. Selanjutnya pelaksanaan syura secara murni terkubur bersamaan dengan kafannya Ali. Pada masa-masa berikutnya (Umayah, Abasiah, Usmani), syura
hanya menjadi formalitas belaka bahkan tidak pernah tersentuh oleh
penguasa dinasti yang sentralistik dan otoriter. Sehingga dalam memasuki
era modern umat menjadi bingung dalam menentukan sistem politik yang
harus digunakan, karena syura (musyawarah) sebagai inti dari
demokrasi tidak dikembangkan selama berabad-abad dalam sejarah Islam
sebagai doktrin egaliteriaisme (Maarif 2004).
“Syura menempatkan manusia sama di depan hukum, sejarah, dan Tuhan” (kutipan wawancara tanggal 17 April 2012). Dalam syura terkandung doktrin egaliter yang hilang dalam sejarah Islam. Prinsip egaliter merupakan poin yang sangat sentral bahkan egaliter disebut sebagai bagian dari tauhid. Ajaran tauhid yang berarti bahwa Allah itu esa memiliki implikasi bahwa humanity is one, kemanusiaan itu satu. Untuk menjaga persatuan harus ada persamaan dan keadilan.
Menegaskan pentingnya prinsip
egaliter, Maarif mengutip surat Hujurat ayat 13 yang mengatakan, manusia
paling mulia di hadapan Tuhan yaitu yang paling bertakwa. Dengan demikian, seseorang meskipun mengaku sebagai keturunan Nabi tidak bisa begitu saja menganggap orang lain lebih rendah daripadanya, seperti yang banyak terjadi pada pemimpin-pemimpin dinastik yang ototriter di Timur Tengah.
Karena konsep syura yang menekankan
egaliterianisme merupakan gagasan politik utama dalam Alquran, maka
sistem politik demokrasi nampaknya lebih dekat kepada cita-cita politik
Qurani dan lebih sesuai untuk dilaksanakan dalam konteks modern.
Walaupun tidak selalu demokrasi identik dengan praktek demokrasi barat.
Aspek-aspek sekuler dari demokrasi dapat saja disingkirkan sehingga
tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolaknya.
Mengutip pendapat Rahman, Maarif (1987) menyebut bahwa institusi syura atau nadi
(sidang) telah ada dalam masyarakatArabiaa sebelum Islam. Dalam sidang
ini perwakilan kepala-kepala suku dari berbagai kota melakukan
permusyawaratan yang kemudian institusi ini didemokrasikan oleh Alquran.
Jika melihat hal ini, maka pilihan kaum modernis terhadap demokrasi
bukanlah sesuatu yang dibuat-buat atau sekadar untuk mengakomodasi
terhadap institusi politik demokratik Barat.
Namun walaupun demikian, syura
sebagai gagasan politik yang berlandaskan nilai-nilai etik Qurani pada
beberapa hal yang mendasar berbeda dengan sistem demokrasi. Maarif
mencontohkan, parlemen di sebuah negara menghalalkan judi karena
didukung oleh lebih 50% anggotanya. Dalam sistem demokrasi Barat, judi
dengan demikian menjadi halal atau legal. Sementara di dalam syura,
hal itu tidak mungkin berlaku sekalipun didukung oleh 100% anggota
parlemen sebagai perumus dan pembuat undang-undang. Karena judi
merupakan salah satu kegiatan yang dilarang oleh Allah. Sehingga dalam
sistem syura, di atas parlemen masih ada ketentuan agama yang
tidak boleh dilanggar dengan alasan apa pun, kecuali dalam kondisi yang
sangat darurat.
Berbicara mengenai peluang diterapkannya syura di masa depan di Indonesia sebagai alternatif antara sistem demokrasi dan khilafah
mungkin dapat dikaji lebih mendalam dalam kesempatan yang berbeda. Yang
pasti yaitu ide negara Islam di Indonesia sudah tidak diperlukan lagi,
bahwa terutama yang diperlukan yaitu moral Islam harus tetap menjadi
payung besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila yang
sudah disepakati sebagai ideologi yang terbuka harus membuka pintu
seluas-luasnya bagi wahyu, sehingga tuduhan Pancasila yang sekuler dapat
ditangkal. Meskipun sesungguhnya subtansi syura telah tercermin pada sila keempat Pancasila.
Perkembangan syura akan sangat bergantung dengan kultur dimana syura itu dikembangkan. Syura akan berhasil diterapkan sebagai suatu sistem yang mampu membawa kesejahteraan jika moralitas para politisi dan pemimpinnya dapat dipertanggungjawabkan. Partai politik di negara modern saat ini merupakan organisasi yang paling memungkinkan untuk memerjuangkan syura
terutama di Indonesia. Namun sayangnya banyak partai politik di negeri
ini yang berazaskan Islam sekalipun yang berperilaku bobrok secara
moral.
Perlu dicatat, baik khilafah, syura,
demokrasi, otoriter, monarki atau sistem apa pun tentu memiliki
kelebihan dan kelemahan masing-masing. Semua sistem ini sebenarnya
memiliki tujuan dasar yang hampir sama yaitu kesejahteraan bagi rakyat.
Namun baik buruknya suatu sistem tidak dapat dilepaskan dari perilakuk
pemimpin, politisi dan para pemangku kepentingan lainnya. Jika sebagus
apa pun konsep suatu sistem tetapi apabila tidak diiringan dengan moral
manusianya yang bagus pula, maka akan percuma konsep atau sistem
tersebut begitupun dengan di Indonesia.
Sehingga melihat keadaan Indonesia saat ini
yang galau di alam demokrasinya, harus pula melihat pemimpin atau
kualitas pemimpinnya. Karena kelemahan terbesar tetaplah ada pada
pemimpin yang telah kehilangan kepekaan dalam menjalankan
kepemimpinannya sebab jika tidak demikian, negeri ini akan terus saja
meluncur tanpa ada yang merasa bertanggung jawab (Maarif 2004).
Manusia-manusia Indonesia terutama generasi penerus haruslah
dipersiapkan sematang mungkin sebagai seorang pemimpin Indonesia yang
berkualitas. Karena sistem apa pun ke depannya yang akan dipilih oleh
bangsa ini pun akan bergantung pada kemampuan dan kualitas pemimpinnya.
Jika syura pun di masa depan tidak
dapat diterapkan di Indonesia dengan tetap menggunakan sistem demokasi
atau berubah menjadi negara Islam. Terutama sekali yang harus diwujudkan
yaitu misi Islam yang sebenarnya: menebarkan rahmat untuk alam semesta.
Sehingga subtansi Islam sebagai agama yang sempurna dapat dirasakan
dengan jelas oleh seluruh umat manusia. Bukan Islam yang hanya
mengandalkan bentuk luaran belaka dan penuh dengan simbol-simbol serta
romantisme sejarah yang menyesatkan.
BAB VI: TINDAKAN MAARIF
Seperti yang telah diakui Maarif dalam
otobiografinya, bahwa pasca-Chicago dan mendapat “basuhan” Fazlur
Rahman. Maarif menjadi demokrat-pluralis sejati, ide negara Islam yang
ada di pikirannya selama puluhan tahun telah sirna. Yang ada yaitu
bagaimana mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara di alam
demokrasi yang penuh dengan keberagaman ini. Penafsirannya akan
keislaman dan keindonesiaan yang demikian, membuatnya oleh banyak orang
disandingkan dengan mendiang Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid
dalam hal pemikiran.
Sebagai cendekiawan muslim yang terdidik,
Maarif dalam menyampaikan bahkan mempertahankan argumennya tentu
menggunakan cara-cara yang terdidik pula. Apalagi posisinya sebagai
salah satu sesepuh di Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai Ketua
Umum PP Muhammadiyah selama 1998 – 2005. Tentu perilaku dan pendapatnya
banyak disorot oleh massa bahkan banyak pula yang akan mengamininya.
Konsistensinya terhadap ide demokrasi dan
Pancasila sesungguhnya dapat dilihat dari karya-karya yang telah
dihasilkannya. Terutama berawal dari disertasi doktornya di Chicago
dengan judul Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constuent Assembly Debates in Indonesia.
Yang selanjutnya menjadi salah satu buku induk referensi dari penulisan
laporan ini. Begitupun dengan tulisan-tulisannya yang lain, selalu
mencerminkan sikap dan posisi politik yang dipilih Maarif.
Karya-karyanya itulah yang dapat dikatakan
sebagai tindakan nyata Maarif dalam memperthankan argumentasinya. Selain
itu, Maarif sering pula memberikan pengantar untuk tulisan-tulisan
keislaman dan kenegaraan yang bersifat pluralitas. Menjadi pembicara
dalam pelbagai seminar, kongres, konferensi bahkan talkshow news sekalipun, serta sebagai kolumnis tetap di salah satu surat kabar tanah air, Maarif tetap pada pendiriannya.
Sehingga tidak salah jika banyak penghargaan
yang didapatnya sebagai bentuk apresiasi atas pemikiran dan
konsistensinya dalam mempetahankan pemikirannya tersebut. Beberapa
apresiasi tersebut yaitu Ramon Magsaysay Award (2008) dan Hamengkubuwono
IX Award (2008).
“Barangkali saja usiaku yang
menjelang malam ini tidak akan punya kesempatan lagi untuk menyaksikan
kebangkitan peradaban Islam yang autentik, toleran, dan berkualitas
tinggi. Tetapi setidak-tidaknya aku dengan bekal dari “pesantren”
Chicago tidak pernah tinggal diam dalam menyuarakan-pemikiran terobosan,
sekalipun nilainya belum seberapa dikaitkan dengan harapan yang teramat
besar untuk sebuah perubahan yang fundamental dengan Alquran sebagai
hakim yang tertinggi” (Maarif 2009).
BAB VII: SIMPULAN
Pada akhirnya bagi Indonesia saat ini di era
yang modern, pilihan untuk berdemokrasi merupakan pilihan yang terbaik
di antara yang baik. Demokrasi walaupun ideologinya bersumber dari
barat, tetapi sesungguhnya masyarakat Indonesia telah berdemokrasi sejak
ratusan tahun yang lalu dengan caranya sendiri seperti yang dikatakan
Bung Hatta di atas. Sehingga demokrasi bukanlah sesuatu hal yang tabu
walaupun pada beberapa waktu demokrasi sempat mati suri dan hanya
menjadi slogan belaka.
Pilihan untuk berdemokrasi tentu bukan tanpa
alasan, perdebatan selama sembilan tahun di Konstituante untuk
menentukan ideologi negara– Islam atau Pancasila– telah memenangkan
demokrasi dan Pancasila melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Tetapi bukan Islamnya yang kalah melainkan ide negara Islam itu yang
kalah. Ide negara Islam yang sedikit banyak terinspirasi dari sistem khilafah menjadi tidak realistik dan bahkan usang. Karena pada faktanya imperium khilafah
yang dinastik dan dua negara Islam modern– Pakistan dan Iran– belum
dapat dikatakan sukses setidaknya secara ekonomi hanya karena berepublik
Islam. Karena pada dasarnya Islam sebagai agama bahkan Tuhan hanya
sebagai simbol dan legitimasi kekuasaan semata.
Adapun konsep syura yang berlandaskan nilai-nilai etik Alquran dan pernah diterapkan secara utuh selama masa kepemimpinan al-Khulafa ar-Rasyidun menjadi alternatif. Toh syura mendekati kemiripannya dengan sistem demokrasi, tetapi syura tetap berbeda dengan demokrasi karena syura menempatkan agama di atas segala-galanya. Sementara yang membedakan syura dengan khilafah, yaitu syura lebih menekankan prinsip egaliterianisme yang berkeadilan sebagai ajaran tauhid daripada khilafah yang dinastik dan cenderung otoriter.
Yang terpenting lagi terlepas dari
perdebatan pilihan penggunaan sistem, yaitu kualitas moral manusia dan
pemimpin atau politisi yang harus diperbaiki. Karena sistem apa pun yang
digunakan apabila tidak dibarengi dengan moral yang Islami dari para
pemangku kepentingan, maka akan sia-sia belaka suatu sistem atau konsep
yang telah dirancang sedemikian rupa. Sebab pada dasarnya semua sistem
memiliki tujuan yang sama yaitu kesejahteraan bagi rakyat.
Dalam perjalanannya sebagai cendekiawan
sekaligus tokoh muslim kenamaan di tanah air. Ahmad Syafii Maarif telah
menyumbangkan ide dan pemikirannya untuk bangsa, terutama dalam masalah
keislaman dan kenegaraan. Lebih dari itu, Maarif telah menunjukkan
konsistensinya sebagai demokrat-pluralis yang mendukung Pancasila
melalui tulisan-tulisannya maupun perilakunya sehari-hari sebagai salah
satu orang Indonesia yang terdidik.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Raziq, Ali Abd, 2002, Islam Dasar-Dasar Pemerintahan Kajian Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, Yogyakarta: Jendela.
Engineer, Asghar Ali, 2000, Devolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maarif, Ahmad Syafii, 1987, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES.
___________________ 2004, Mencari Autentisitas dalam Kegalauan, Jakarta: PSAP.
___________________ 2009, Titik-Titik Kisar di Perjalananku, Jakarta: Mizan.
___________________ dkk, 2010, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Jakarta: Paramadina.
Mannheim, Karl, 1991, Ideologi dan Utopia, Yogyakarta: Kanisius.
Rahman, Fazlur, 2000, Islam, Bandung: Pustaka.
Tahrir, Hizbut Tahrir, 2005, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi), Jakarta: HTI-Press.sumber: kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa Pendapat Kamu??
Tinggalkan komentar teman kritik dan saran sangat saya tunggu..
Tapi mohon jangan beri komentar spam.
Dan pakai bahasa yang sopan.