Rasulullah saw bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ
القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ»، فَقِيلَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا
أُولَئِكَ
“Hari kiamat tak bakalan terjadi
hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal,
sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan
Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR. Bukhory no. 7319 dari Abu Hurairah r.a)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w.
852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy (13/301), menerangkan bahwa
hadist ini berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti umat lain dalam
masalah pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat.
Sekarang dapat kita rasakan
kebenaran sabda Beliau saw, dalam pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat,
sistem demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik, bahkan tidak jarang hukum
Islam pun dinilai dengan sudut pandang demokrasi, kalau hukum Islam tersebut
dianggap tidak sesuai dg demokrasi maka tidak segan-segan dibuang atau
diabaikan.
Secara ringkas, tulisan ini akan
mengkritisi demokrasi, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya dalam sistem
pemerintahan.
Pengertian Demokrasi
Dalam teori, demokrasi adalah
pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan
dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah
sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”[1] Secara teori, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang
dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat
haruslah melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.
Selain itu, demokrasi juga
menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :
a. Kebebasan beragama
b. Kebebasan berpendapat
c. Kebebasan kepemilikan
d. Kebebasan bertingkah laku
Inilah fakta demokrasi yang saat ini
dianut dan digunakan oleh hampir semua negara yang ada di dunia. Tentu saja
dalam implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu yang dilatar
belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang dominan di suatu
negara. Namun demikian variasi yang ada hanyalah terjadi pada bagian cabang
bukan pada prinsip tersebut.
Asal Usul Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari
bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari
kata δῆμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος (Kratos) “kekuasaan”, merujuk pada
sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara
kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Sebelum istilah demokrasi ditemukan
oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak
4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara
kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali
berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil
berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena
di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari
demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 negara kota (poleis) yang
kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang
berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi.
Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan
yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut
pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan
konstitus yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena
namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai
seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam
demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap
orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih
kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang
dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.[2]
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum,
dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi mempunyai latar
belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni
situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama
dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi
agama dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide
yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak
menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu
bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam
berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan mereka yang menerima
demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi sejarah yang
melingkupi kelahirannya.
Demokrasi Bertentangan Dengan Islam
Dalam demokrasi kedaulatan berada di
tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak legislasi (penetapan hukum) berada di
tangan rakyat (yang dilakukan oleh lembaga perwakilannya, seperti DPR).
Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syara’, bukan di tangan
rakyat. Ketika syara’ telah mengharamkan sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram
walaupun seluruh rakyat sepakat membolehkannya.
Disisi lain, kalau diyakini bahwa
hukum kesepakatan manusia adalah lebih baik daripada hukum Allah, maka hal ini
bisa menjatuhkan kepada kekufuran dan kemusyrikan. Ketika Rasulullah saw
membacakan:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ
دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang
alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. At Taubah : 31)
Ady bin Hatimr.a berkata:
يارسول الله انهم لم يكونوا يعبدونهم
Wahai Rasulullah mereka (org
nashrany) tidaklah menyembah mereka (rahib).
Maka Rasul menjawab:
اجل ولكن يحلون لهم ما حرم الله فيستحلونه ويحرمون عليهم ما
احل الله فيحرمونه فتلك عبادتهم لهم
Benar, akan tetapi mereka (rahib dan
org alimnya) menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah maka mereka (org
nashrany) menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah
maka mereka (nashrany) mengharamkannya pula, itulah penyembahan mereka
(nashrany) kepada mereka (rahib dan org alimnya) [HR. Al Baihaqi, juga diriwayatkan oleh at Tirmidzi dengan
sanad Hasan]
Berkenaan dengan kebebasan beragama,
Islam memang melarang memaksa manusia untuk masuk agama tertentu. Namun demikian
Islam mengharamkan seorang muslim untuk meninggalkan aqidah Islam. Rasulullah
bersabda:
“Siapa saja yang mengganti agamanya
(murtad dari Islam) maka bunuhlah dia”.(HR
Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ashabus Sunan).
Adapun kebebasan berpendapat, Islam
memandang bahwa pendapat seseorang haruslah terikat dengan apa yang ditetapkan
oleh syariat Islam. Artinya seseorang tidak boleh melakukan suatu perbuatan
atau menyatakan suatu pendapat kecuali perbuatan atau pendapat tersebut
dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang membolehkan hal tersebut. Islam
mengharuskan kaum muslimin untuk menyatakan kebenaran dimana saja dan kapan
saja. Rasulullah saw bersabda :
“…Dan kami(hanya senantiasa)
menyatakan al-haq (kebenaran) dimana kami berada, kami tidak khawatir (gentar)
terhadap cacian tukang pencela dalam melaksanakan ketentuan Allah”. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit).
Berkaitan dengan kepemilikan, Islam
melarang individu menguasai barang hak milik umum, seperti sungai, barang
tambang yang depositnya besar, dll, juga melarang cara
mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara’ seperti riba,
judi, menjual barang haram, menjual kehormatan, dll.
Adapun kebebasan dalam bertingkah
laku, Islam menentang keras perzinaan, homoseksual-lesbianisme, perjudian, khamr
dan sebagainya serta menyediakan sistem sanksi yang sangat keras untuk setiap
perbuatan tersebut. Sementara demokrasi membolehkan hal tersebut, apalagi kalau
didukung suara mayoritas. sehingga tidak aneh kalau dalam sistem demokrasi,
homoseksual yang jelas diharamkan Islampun tetap dibolehkan asalkan pelakunya
sudah dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan suka-sama suka[3].
Begitu juga perzinaan asal dilakukan orang dewasa yang suka-sama suka dan tidak
terikat tali perkawinan maka tidaklah dipermasalahkan[4].
Demokrasi = Syuro (Musyawarah)?
Sebagian kalangan menyatakan bahwa
Demokrasi itu sesungguhnya berasal dari Islam, yakni sama dengan syuro
(musyawarah), amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa. Hal ini
tidaklah tepat karena syuro, amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa
merupakan hukum syara’ yang telah Allah swt tetapkan cara dan standarnya, yang
jauh berbeda dengan demokrasi.
Demokrasi memutuskan segala
sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam,
tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut :
(1) Untuk masalah yang berkaitan
dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan
mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah, dimana
Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh mayoritas shahabat,
dan ketika Umar r.a protes, beliau saw menyatakan:
إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
“Aku ini utusan Allah, dan aku
takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah penolongku.” (HR Bukhari)
(2) Untuk masalah yang menyangkut
keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara
mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
(3) Sedang untuk masalah teknis yang
langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya
adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.
Demokrasi: Cacat Sejak Lahir
Demokrasi sejatinya sistem yang
cacat sejak kelahirannya. Bahkan sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya,
Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau
the rule of the mob. Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah
sistem yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa,
demokrasi rentan akan anarkisme.
Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa
liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus biang petaka mengapa negara
demokrasi akan gagal selama-lamanya. Plato dalam bukunya, The Republic,
mengatakan, “.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of
speech, and men in it may do what they like”. (…mereka adalah orang-orang
yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan
orang-orang didalamnya boleh melakukan apa yang disukainya). Orang-orang akan
mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi
negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat
sesuka hatinya sehingga timbullah bencana disebabkan berbagai tindakan
kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy),
tidak bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).
Menurut Plato, pada masa itu citra
negara benar-benar telah rusak. Ia menyaksikan betapa negara menjadi rusak dan
buruk akibat penguasa yang korup. Karena demokrasi terlalu mendewa-dewakan
(kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi negara,
yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani.
Kala itu, banyak orang melakuan hal
yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, murid
merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena itu, pada perkembangan
Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat
tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak mampu memberikan keamanan
bagi rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis Benjamin Constan
(1767-1830) berkata: ”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan,
yaitu kediktatoran parlemen.”
Demokrasi Ketuhanan
Karena menganggap demokrasi sebagai
konsep yang bagus walaupun ada kekurangannya, sebagian kalangan ada yang
berupaya mengambil ide demokrasi namun membuang apa yang menurut mereka jelek.
Sehingga mereka katakan, “kita memakai demokrasi namun yang berdaulat
tetaplah syara’” yakni mereka bermaksud berdemokrasi namun hukum syara’
tidak akan ditolak. Ungkapan seperti ini sebenarnya hanyalah permainan
kata-kata dan definisi saja, seperti orang mau memesan sate ayam namun mereka
syaratkan sate ayamnya tidak menggunakan daging ayam. Dan terhadap hal seperti
ini hendaknya kita berhati-hati menjaga lidah. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا
وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah:
“Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (QS Al Baqarah 104)
“Raa `ina” berarti “sudilah kiranya kamu memperhatikan kami”.
Di kala para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun
memakai pula kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut ”Raa `ina”,
padahal yang mereka katakan ialah ”Ru`uunah” yang berarti kebodohan yang
sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya
sahabat-sahabat menukar perkataan ”Raa `ina” dengan ”Unzhurna’‘
yang juga sama artinya dengan ”Raa `ina”. Kalau masalah pilihan kata
saja Allah memperhatikan, padahal dua kata tersebut kurang lebih artinya sama,
lalu baggaimana pula dengan kata yang memang memiliki pemahaman yang khas
seperti demokrasi ini? Tentunya harus lebih hati-hati lagi.
Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah)
Berbeda dengan demokrasi, Islam
menggariskan bahwa sistem pemerintahan yang seharusnya dipakai umat Islam tegak
diatas 4 pilar pokok yakni: [5]
Pertama, kedaulatan di tangan syara’. Tak
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa kedaulatan di tangan syara’,
yakni hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum bagi manusia, kalaupun
semua manusia sepakat menghalalkan yang diharamkan Allah maka kesepakatan
mereka tidak berlaku.
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ
الْفَاصِلِينَ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling
baik. (QS Al An’am : 57)
Ketika terjadi perselisihan, maka
keputusan hukumnya juga wajib menggunakan ketentuan syara’. Allah berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul
(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (QS. An Nisaa’: 59)
Kedua, kekuasaan[6]
di tangan umat, yakni umatlah yang berhak memilih pemimpin yang dikehendakinya
untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari hadis-hadis tentang
bai’at, bahwa seseorang tak menjadi kepala negara, kecuali dibai’at (diangkat) oleh
umat.
Ketiga, mengangkat satu orang khalifah
adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/222,
Maktabah Syamilah) menyatakan:
فَأَمَّا نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي الْأَرْضِ أَوْ أَكْثَرَ
فَلَا يَجُوزُ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: “مَنْ جَاءَكُمْ
وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا
مَنْ كَانَ” . وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَقَدْ حَكَى الْإِجْمَاعَ عَلَى
ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ، مِنْهُمْ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ
“Adapun pengangkatan dua imam
atau lebih di bumi maka hal itu tidak boleh berdasarkan sabda Beliau
saw: “barang siapa datang kepada kalian sementara urusan kalian bersatu, (orang
itu) hendak memecah kalian maka bunuhlah dia siapapun orangnya“(HR. Muslim) Dan
ini merupakan pendapat jumhur, tidak hanya seorang yang telah menceritakan
adanya ijma’ dalam hal ini, di antara mereka adalah Imamul Haramain.”
Keempat, hanya kepala negara saja yang
berhak melegislasikan hukum-hukum syara’.
Hal ini didasarkan pada Ijma’
Shahabat yang melahirkan kaidah syar’iyah yang termasyhur,
حكم الحاكم يرفع الخلاف
Ketetapan penguasa menghilangkan
perbedaan pendapat. Juga kaidah syar’iyah lain yang tak
kalah masyhur,”Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri mâ yahdutsu min
musykilât.” (Imam (kepala negara) berhak menetapkan keputusan baru sejalan
dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi).
Penutup
Demokrasi yang telah dijajakan Barat
ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem kufur. Tidak ada
hubungannya dengan Islam, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi
bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam
sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya,
serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.
Fakta juga membuktikan kerusakan
masyarakat akibat dipakainya konsep demokrasi ini, bukan hanya di Indonesia,
namun juga di AS yang menjajakan konsep ini. Allahu A’lam. (Insya Allah
disampaikan di Masjid Nurul Falah Banjarbaru, pada 24 Maret 2013)
sumber :Oleh : Muhammad Taufik NT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa Pendapat Kamu??
Tinggalkan komentar teman kritik dan saran sangat saya tunggu..
Tapi mohon jangan beri komentar spam.
Dan pakai bahasa yang sopan.